
Oleh : Danil Akbar *
Pengelolaan anggaran daerah adalah barometer paling jujur dari cara sebuah pemerintahan bekerja. Ia tidak pernah bohong, tidak pernah menipu : angka-angka yang tersaji di dalamnya adalah cermin dari prioritas, integritas, dan kapasitas sebuah daerah menjaga kepercayaan warganya. Namun yang terjadi di Kota Bima hari ini justru menunjukkan gejala yang patut dikhawatirkan: kebijakan fiskal yang tidak disiplin, proses anggaran yang kehilangan logika, dan transparansi yang semakin jauh dari jangkauan publik. Kasus pembangunan Ruang Rawat Inap RSUD hanyalah satu contoh, tetapi cukup untuk menggambarkan bagaimana sebuah anggaran bisa bergerak tanpa arah dan tanpa pertanggungjawaban yang jelas.\
Pagu pembangunan ruang rawat inap RSUD awalnya ditetapkan pada angka Rp30 miliar, namun kemudian tiba-tiba melonjak menjadi Rp35 miliar hanya dalam satu pembahasan. Anehnya, lonjakan tersebut tidak disertai dokumen teknis yang memadai. Tidak ada revisi AHSP, tidak ada penjelasan resmi tentang item yang bertambah, dan tidak ada penjelasan mengapa bangunan seluas hanya sekitar 2.300 meter persegi membutuhkan biaya sebesar itu. Kenaikan ini menjadi pintu masuk dari serangkaian kejanggalan berikutnya.
Lebih jauh lagi, pembangunan ini ditetapkan sebagai proyek multi-years. Secara teori ini bukan masalah. Namun dalam praktiknya, pemerintah hanya mengeksekusi sekitar Rp4 miliar pada tahun 2025. Dalam aturan pengelolaan keuangan daerah, sisa pagu sebesar Rp31 miliar harus tetap muncul di APBD Perubahan sebagai komitmen tahun jamak atau minimal sebagai SILPA terikat. Faktanya tidak demikian. Ketika APBD-P 2025 disahkan, anggaran Rp35 miliar ini hilang dari dokumen. Tidak muncul dalam pos apa pun. Tidak tercatat sebagai sisa anggaran. Tidak ditandai sebagai beban tahun berikutnya. Ia lenyap begitu saja, seolah-olah tidak pernah ada.
Keanehan tidak berhenti di sini. Pada APBD 2026, anggaran pembangunan rawat inap kembali muncul sebagai pos baru, seakan tidak pernah dianggarkan sebelumnya pada 2025. Maka timbul pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin sebuah anggaran yang sudah disahkan, belum digunakan sepenuhnya, tiba-tiba hilang dari APBD-P, lalu muncul kembali sebagai penganggaran baru di tahun berikutnya? Inilah yang oleh publik disebut sebagai “beban fiskal ganda”: daerah menanggung dua kali pembiayaan untuk proyek yang sama akibat tidak adanya penguncian anggaran multi-years. Ini bukan saja tidak lazim, tetapi bertentangan dengan prinsip penganggaran yang sehat dan bertanggung jawab.
Dampak dari kekacauan ini terasa langsung oleh masyarakat. Pemerintah kemudian menjelaskan bahwa telah terjadi pengetatan fiskal pada tahun 2026 karena pendapatan turun dan DAK tidak tersedia. Namun klaim itu tidak sejalan dengan fakta. Pengetatan bukan semata-mata karena penurunan pendapatan, tetapi karena hilangnya anggaran besar pada 2025 yang seharusnya menjadi komitmen proyek tahun jamak. Akibatnya, 2026 harus menanggung ulang biaya proyek, memaksa pemerintah melakukan pemotongan TPP ASN dan PPPK, mengurangi belanja layanan kesehatan, menekan operasional RSUD, serta menghambat sejumlah program vital lainnya.
Ketika sebuah daerah gagal menjaga disiplin fiskal, yang hilang bukan hanya uangnya, tetapi juga kepercayaan warganya. Kepercayaan adalah modal politik paling mahal. Tanpa itu, semua pembangunan kehilangan legitimasi. Dalam konteks ini, hilangnya Rp35 miliar dari APBD-P bukan sekadar angka yang salah tulis, tetapi simbol dari hilangnya akuntabilitas. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa setiap rupiah dalam APBD adalah uang rakyat—bukan uang pejabat, bukan uang kelompok, bukan uang birokrasi.
Sebagai Ketua P-MAKI NTB dan sebagai pengamat kebijakan publik, saya memandang bahwa kasus ini harus dibuka seterang-terangnya. BPK dan BPKP perlu melakukan audit investigatif. DPRD jangan berdiam diri, karena fungsi pengawasan ada di tangan mereka. TAPD harus memberikan penjelasan terbuka kepada publik mengenai mengapa anggaran multi-years dapat hilang dari dokumen resmi. Dan apabila ditemukan indikasi pelanggaran hukum, aparat penegak hukum harus turun tangan tanpa kompromi.
Kota Bima tidak membutuhkan alasan baru dari pemerintahnya. Kota Bima membutuhkan kejujuran, transparansi, dan keberanian untuk memperbaiki kesalahan. Uang Rp35 miliar itu mungkin telah hilang dari dokumen, tetapi jejaknya tidak hilang dari ingatan publik. Dan selama publik masih ingat, tanggung jawab itu tetap hidup.
Pada akhirnya, editorial ini bukan sekadar kritik. Ini seruan agar pemerintah kembali ke prinsip dasar : MENGELOLA UANG RAKYAT DENGAN BENAR. Tidak lebih. Tidak kurang. Sebab ketika anggaran bisa hilang begitu saja dari APBD, maka yang benar-benar hilang bukan hanya angka—melainkan masa depan layanan publik itu sendiri.
