
BAYANGKAN, di jantung Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Parungkuda, berdiri dapur-dapur pengolahan batu sinabar yang menjelma menjadi merkuri. Bukan rumor, negara sendiri mengakuinya lewat dokumen resmi National Action Plan (NAP) Minamata yang tahun 2016 menulis hitam di atas putih, Parungkuda adalah salah satu kecamatan dengan cinnabar smelters.
Tahun berikutnya, 2017, publik digegerkan penggerebekan Bareskrim di Desa Mangkalaya. Dari sini disita 5,1 ton batu sinabar dari Maluku, 1,5 ton merkuri cair plus tungku produksi. Bukti konkret, bukan cerita warung kopi. Tapi… kasus ini senyap, tak terdengar dentuman palu hakim. Sementara itu, merkuri, racun abadi yang masuk ke tanah, air, dan tubuh manusia, terus menyebar. Anak-anak, ibu hamil, petani, semua hidup di atas bom waktu yang berdetak tanpa henti.
BPK Bicara : Catatan Kelalaian Yang Resmi
Kalau ada yang masih ragu, mari buka arsip Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Sepuluh tahun terakhir, catatannya gamblang : Pertama, KLH (2018–2021), BPK berkali-kali menulis “Pengawasan Pengelolaan B3 Belum Efektif”. Data limbah tak akurat, remediasi lingkungan banyak yang gagal capai target, bahkan ada indikasi fiktif. Kedua, ESDM (2019), sistem data minerba amburadul, pengawasan tambang rakyat minim, penerimaan negara bocor. Celah ini yang membuat batu sinabar Maluku bisa nyelonong sampai Sukabumi. Ketiga, Lintas Kementerian (2021), Indonesia memang ratifikasi Konvensi Minamata, tapi implementasi? Koordinasi lemah, NAP tak jalan. Parungkuda adalah buktinya! Keempat, Kemenkes (2020), BPK tegaskan, deteksi penyakit akibat logam berat belum optimal. Artinya, warga yang mungkin sudah keracunan merkuri dibiarkan tanpa perlindungan kesehatan. Ini bukan kata aktivis. Ini kata auditor negara.
Negara Absen, Rakyat Jadi Tumbal
Kasus Parungkuda menggambarkan lingkaran setan, antara lain : Hukum mati suri, karena penggerebekan pada 2017 berhenti di tengah jalan. Tak jelas siapa yang ditahan, apalagi dihukum. Apakah ada aktor besar yang “diselamatkan”? ; Lingkungan jadi taruhan, jelas merkuri bukan polutan musiman. Sekali masuk tanah dan rantai makanan, ia akan mewariskan malapetaka lintas generasi. Terakhir, Tata kelola ambyar, KLHK sibuk dengan program, ESDM sibuk dengan data, Kemenkes sibuk dengan jargon. Hasilnya? Warga dibiarkan jadi korban racun permanen.
Oleh karena itu Indonesian Audit Watch (IAW) mendesak Polri dan Kejagung untuk membuka kembali kasus Sukabumi 2017, dengan menelusuri jaringan sinabar dari Maluku ke Jawa. Pastikan kasus masuk pengadilan, bukan masuk laci. Pemkab Sukabumi juga mesti melakukan audit lingkungan dan kesehatan di Parungkuda, publikasikan hasilnya dan jangan ditutup-tutupi. Tutup semua tungku merkuri ilegal. Kemudian Pemprov Jabar, agar mengkoordinasikan dukungan teknis dan anggaran, dengan membantu pemulihan lingkungan dan pemantauan kesehatan. Sedangkan, KLH dan ESDM agar dokumen serta implementasi NAP tidak sekadar dokumen pajangan. Awasi distribusi sinabar dan merkuri nasional, serta ambil alih pemulihan jika daerah tak mampu.
Karena rakyat berhak tahu, Parungkuda adalah potret miniatur kegagalan negara. Dokumen ada, bukti ada, laporan BPK ada, tapi aksi nyata? Nol besar. Rakyat berhak tahu siapa yang membiarkan dapur racun ini beroperasi, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang harus bertanggung jawab atas penderitaan warga Sukabumi. Indonesian Audit Watch akan terus mengawal kasus ini, karena setiap tetes merkuri yang lolos adalah pengkhianatan terhadap generasi mendatang.
* Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
